Jumat, 17 Juli 2009

Kebudayaan Patung Mbis Suku Asmat Kabupaten Asmat Propinsi Papua,

Perkembangan budaya global semakin meluas, siapa yang kuat, dialah yang akan mempengaruhi dan berkuasa atas yang lain. Banyak budaya local yang semakin tergeser dan berganti dengan budaya global tersebut. Hal ini pun terjadi diindonesia, dengan berbagaimacam budaya yang ada yang berasal dari berbagai macam suku pun tidak dapat menghindari hal tersebut.

Salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekayaan kebudayaan yang beragam tersebut adalah daerah Papua. Papua yang merupakan sepuah pulau terbesar di Indonesia terdiri dari dua Pripinsi, yaitu Irian Jaya Barat dan Papua itu sendiri. Dengan topologi daerah ynag beragam, mulai dari pegunungan, pesisir, dataran rendah, rawa-rawa bahkan sabana sudah tentu masyarakatnya memiliki pola hidup dan karakteristik serta kebudayaan yang berbeda-beda pula.

Pulau Papua memiliki puluhan, bahkan ratusan Suku-suku asli yang sejak lama menempati belantara Papua. Dani, Ayumu, Muyu, Marin, Enggros, Sentani Barat, Sentani tengah, Asmat dll, merupakan beberapa contoh suku yang ada diTanah Papua. Mereka memiliki bahasa sukunya masing-masing oleh karena itu dahulu kala sulit untuk mereka saling berkomunikasi. Namun seiring berkembangnya Zaman, terutama setelah Papua bergabung dalam Negara Kesatua Republik Indonesia, bahasa Indonesialah yang mempersatukan dan memudahkan komunikasi antar mereka. Inilah salah satu bukti perkembangan zaman yang mempengaruhi budaya local.

Salah satu contoh lainnya yang banyak ditakutkan oleh para orang teradahulu serta para pemerhati budaya adalah, apabila masuknya budaya atau pengaruh baruh malah akan mengikis atau bahkan merubah budaya yang ada.

Salah satu kebudayaan unik yang sangat terkenal dan cukup mendapat perhatian di Tanah Papua adalah keberadaan kebudayaan Patung Asmat atau PAtung Mbis. Salah satu kebudayaan suku Asmat, kebudayaan ini lambat laun kehilangan nilai sakralnya serta terancam kehilangan penerus. Hal ini tidak lepas dari adanya pengaruh perkembangan kebudayaan global. Perkembagan inilah yang akhirnya merubah paradikma serta persepsi masyarakat setempat mengenai nilai Budaya yang mereka miliki tersebut.

Dalam makalah ini nantinya akan dibahas lebih lanjut mengenai kebudayaan suku Asmat ini dan bagaimana proses pengikisan dan pergeseran nilai budaya ini terjadi, baik sisi buruknya maupun sisi positifnya.


1. Suku Asmat

Asmat! Yang muncul di benak kita adalah suku primitif dan terbelakang serta sudah tidak asing lagi di telinga kita, terutama di kalangan pelajar dari SD sampai Perguruan Tinggi. Dalam ilmu pengetahuan sosial suku tersebut sering dikenal sebagai suku yang berada di sebelah timur Indonesia, yaitu tanah Papua. Namun, gambaran seperti itu lenyap, bila melihat orang Asmat membangun kebudayaan melalui seni dan adat istiadat mereka.

Orang Asmat lebih maju dibanding suku-suku lain di tanah Papua. Mereka sering menjadi duta bagi Indonesia di mancanegara yang menunjukan kebolehannya.

Papua adalah propinsi paling timur Indonesia yang menyimpan kekayaan alam dan budaya. Dengan luas sekitar empat ratus dua puluh ribu kilometer persegi, Papua menjadi pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Selain luas, Papua juga berlembah, sebagian rawa- rawa dan hutan lebat.

Transportasi sampai detik ini masih menjadi masalah untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain, sehingga sungai memegang peranan penting sebagai salah satu sarana angkutan. Seperti Sungai Membramo atau Digul yang merupakan salah satu sungai terbesar.

Bagi sebagian suku, sungai adalah kehidupan. Sungai yang membawa mereka dari satu ke tempat lain. Dari sungai mereka juga menggantungkan hidup, seperti mencari ikan dan keperluan lain. Ada beratus – ratus suku yang tersebar di wilayah pegunungan lembah dan pantai.

Asmat juga identik dengan pahatan patung Mbisnya. Tradisi yang sudah ada turun-temurun, yang memiliki nilai sacral dalam kehidupan masyarakat suku asmat itu sendiri. Patung yang berbentuk wujud manusia ini melambangkan sosok nenek moyang mereka, sehingga patung-patung ini dianggap sacral oleh

2. Legenda Fumeripits

Patung dan memahat adalah bagian penting dalam kehidupan orang Asmat. Legenda suci orang Asmat menyebutkan, orang Asmat berasal dari kayu yang dipahat menyerupai wujud manusia dan akhirnya hidup menjadi orang Asmat.

Dikisahkan, leluhur orang Asmat yang bernama Fumeripits dihidupkan kembali oleh seekor burung bertuah setelah ia terdampar di muara sungai di kawasan Asmat. Ia terlunta-lunta dan mengembara seorang diri, sampai saat ia membangun rumah bujang (jew) dengan bentuk memanjang.

Untuk mengisi kesendiriannya, sepanjang waktu Fumeripits memahat patung, hingga puluhan patung manusia dibuatnya. Suatu ketika, ia membuat tifa, alat perkusi tradisional Asmat. Ketika ia bernyanyi dan menabuh tifa, puluhan patung pahatan Fumeripits berubah wujud menjadi manusia, cikal bakal orang Asmat.

Fumeripits melanjutkan pengembaraannya di pesisir selatan Papua dan masuk ke hulu sungai besar di kawasan itu. Di setiap persinggahannya, Fumeripits kembali membangun jew dan memahat patung manusia. Setiap ia bernyanyi dengan menabuh tifa, patung itu kembali menjadi manusia yang menurunkan suku Asmat yang sekarang kita kenal tersebar di pesisir selatan Papua.

Keturunan Fumeripits inilah yang kemudian menjadi wow-ipits atau wow iwir, para pemahat Asmat. Anak turunan Fumeripits menjadi cikal bakal pengukir Asmat, yang secara turun-temurun mengulangi kembali apa yang dikisahkan dalam legenda suci Fumeripits.

Legenda itu menggambarkan bahwa patung dan memahat adalah suatu yang memiliki nilai sakral bagi orang Asmat. Arwah setiap orang Asmat yang baru meninggal diyakini sedang melakukan perjalanan jauh menuju surga, yang dalam bahasa Asmat disebut safar. Kehidupan di antara kehidupan dunia dan kehidupan surga itu adalah dunia roh yang disebut dampu ow capinmi.

Dalam bukunya, Realitas di Balik Indahnya Ukiran, pemerhati budaya Asmat, Dewi Linggasari, menuliskan, "Roh yang tinggal di dampu om capinmi adalah penyebab penyakit, penderitaan, gempa bumi, dan peperangan. Orang yang masih hidup harus menebus roh-roh ini dengan membuat pesta dan ukiran (yang diberi nama sesuai dengan nama orang yang meninggal) agar roh itu dapat memasuki safar".

Mengukir patung dan menamainya dengan nama orang yang telah meninggal sama halnya dengan membekali roh orang Yunani dengan dua keping uang emas untuk membayar pendayung perahu yang akan membawa roh itu ke surga. Demikian selama ratusan atau bahkan ribuan tahun anak cucu Fumeripits terus memahat patung untuk mengantarkan roh kerabatnya berpulang ke safar.

Dapat dipahami jika seorang pemahat memiliki status sosial istimewa di antara orang Asmat. "Status sosial orang Asmat tidak didasarkan garis keturunannya, tetapi atas kemampuan yang bersangkutan. Jika seseorang yang tidak bisa mematung banyak bicara, omongannya tidak akan didengar. Bagi kami, orang yang tidak bisa mematung tidak tahu apa-apa," kata mantan kurator Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, Jevensius Biakay.

3. Guncangan modernisasi

Saat ini, seni pahat Asmat yang dinaungi mitologi Fumeripits itu pun tidak luput dari guncangan modernisasi. Mgr Emeritus Alphonse Sowada OSC adalah saksi betapa pada akhir tahun 1970-an orang Asmat merasa memahat adalah sesuatu yang ketinggalan zaman, kuno, dan tidak modern.

"Dahulu orang Asmat berperang, dan sentuhan dengan budaya luar itu membuat peperangan berakhir. Di satu sisi, (perkembangan peradaban membuat mereka berhenti berperang) karena berhenti berperang, anak adat Asmat tidak lagi memandang perisai sebagai sesuatu yang penting. Masuknya budaya asing juga membuat anak Asmat melupakan (perkakas) adat karena mereka memakai piring. Saat itu, budaya Asmat nyaris ditinggalkan," kata Sowada.

Untuk mempertahankan tradisi mematung, Sowada pun menggagas Pesta Budaya Asmat pada tahun 1981. "Agar mereka mengukir. Awalnya, kami sekadar meminta mereka membuat ukiran, lalu kami beli. Sampai akhirnya timbul gagasan pesta budaya," katanya lagi. Adalah jasa Sowada jika hari ini orang masih bisa melihat Adam Saimas dan pemahat muda seperti Primus Oambi mencurahkan segenap keahlian memahat mereka.

Di sisi lain, legenda orang Asmat sebagai orang yang suka mengayau membuat para kolektor benda seni mencari segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya mengayau.

Hilangnya anak jutawan Amerika Serikat, Michael Rockefeller, saat melakukan sejumlah penelitian di Asmat semakin membuat kebudayaan Asmat menjadi misteri yang menarik minat. Satu demi satu kurator seni dan antropolog dari berbagai penjuru dunia berdatangan.

Pergesekan dengan orang luar membuat patung Asmat berubah dari perangkat ritual menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi. Mematung tidak lagi berhenti sebagai sebuah ritual untuk mengantarkan arwah leluhur mencapai safar, tetapi juga menjadi sumber penghidupan orang Asmat.

Sejak tahun 1700-an, suku Asmat di Papua telah dikenal dunia dengan keterampilan mengukirnya. Kesenian mengukir di asmat merupakan aktualisasi dari kepercayaan terhadap arwah nenek moyang yang disimbolkan dalam bentuk patung serta ukiran. Namun dalam perkembangannya, ukiran-ukiran, salah satunya patung khas Asmat digemari di luar negeri.

Budaya mengukir di Asmat lahir dari upacara keagamaan. Di sebagian daerah, sebuah upacara menghendaki adanya pemotongan kepala manusia dan kanibalisme guna menenangkan arwah nenek moyang. Untuk menghormati arwah nenek moyang, mereka membuat patung-patung yang menyerupai arwah nenek moyang tersebut, khususnya yang datang dalam mimpi. Lambat laun, kepercayaan ini menjadi tradisi mengukir dan memahat patung kayu.

Pada mulanya, patung-patung dibuat secara kasar dan setelah digunakan dalam upacara agama tertentu lalu ditinggalkan di dalam rawa. Ini sebagai wujud para arwah yang tinggal untuk menjaga hutan sagu dan pohon palem yang merupakan sumber makanan utama masyarakat Asmat.

Namun demikian, kejayaan ukiran Asmat yang asli dari buah tangan putra asli secara perlahan mulai pudar bersamaan dengan munculnya pemalsuan ukiran Asmat di sejumlah wilayah di Indonesia. Lihat saja di Bali, Yogyakarta, Jepara, dan di daerah-daerah lain, di mana ukiran-ukiran khas Asmat dengan mudah dapat ditemukan di daerah-daerah tersebut.

Di masa jayanya, para turis, baik asing maupun domestik, kolektor, seniman, dan pencinta ukiran harus mengunjungi Asmat untuk mendapatkan ukiran atau patung asli. Namun dimulai sejak tahun 2000-an, mereka tidak lagi datang ke Asmat. Selain biaya yang cukup tinggi, mereka bisa mendapatkan patung Asmat dengan datang ke Jawa dan Bali. Apalagi ukiran Asmat di daerah-daerah tersebut sangat mirip dengan aslinya yang dibuat pengrajin dari Asmat sendiri.

Tentunya dalam hal ini, masyarakat Asmat sudah mengalami kerugian, baik dari sisi bisnis maupun kekayaan intelektual. Apalagi para pengrajin di Asmat tidak tahu bagaimana proses mendapatkan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) atas keterampilan itu. Jadinya karya mereka dengan mudah ditiru di berbagai tempat di Tanah Air. Padahal ukiran itu memiliki sejarah dan asal-usulnya.

Sejak era kolonial Belanda, patung Asmat yang tadinya dinilai sebagai benda primitif dan wujud kepercayaan terhadap arwah-arwah jahat, pada akhirnya menjadi terkenal dan disimpan di sejumlah museum di dunia. Nilai patung Asmat setingkat dengan barang-barang hasil seni Eropa dan hasil kebudayaan yang tinggi dari daerah Sungai Nil, Eupharathes, Gangga, dan Indus.

Saat ini, penduduk Asmat masih membuat ukiran secara kecil-kecilan untuk dijual atau digunakan untuk upacara ritual. Namun demikian kualitas ukiran tetap tinggi sesuai standar kualitas dan nilai seni internasional.

Sayangnya, sejumlah pemahat Asmat dari generasi berikutnya semakin mengedepankan motif ekonomi. Mematung sekadar untuk mencari uang sehingga patung yang dihasilkan pun bagai masakan tanpa cita rasa.


Akan tetapi, sisi positif pergesekan dengan dunia luar adalah makin berkembangnya seni patung Asmat sehingga melahirkan kreasi baru yang semakin rumit. Para wisatawan dan kurator juga merangsang para pemahat untuk membuat pahatan yang lebih mudah dibawa bepergian dan dibuat dari bahan kayu yang lebih keras.

Bahan kayu yang lebih keras juga memungkinkan pemahat membuat pahatan yang lebih lembut sehingga sebuah karya menjadi detail. Para pemahat generasi Primus Oambi pun mulai berkenalan dengan kertas ampelas atau kikir meski lem kayu tetap diharamkan dalam seni patung Asmat.

Sejumlah 202 karya patung Asmat yang mewarnai lomba dalam Pesta Budaya Asmat 2006 membuktikan bahwa anak cucu Fumeripits masih mampu menuangkan "kehidupan" pada sebuah kayu yang telah mati.

Akan tetapi, anak cucu Fumeripits masih harus mengalami guncangan budaya berikutnya. Hingga kini, sebagian besar anak adat Asmat masih hidup dengan berburu dan meramu di hutan yang jauh dari pelayanan publik, lapangan kerja formal, listrik, air bersih, dan tempat tinggal yang layak. Dengan daur kehidupan seperti itu, budaya memahat, menyanyikan syair suci legenda Fumeripits, menabuh tifa semalaman, tetap bertahan, dan semua tradisi itulah yang menjiwai para pemahat Asmat menghasilkan adikarya mereka.

Seiring dengan deru pembangunan di Asmat, tercerabut dari kehidupan berburu dan meramu tinggal menunggu waktu. Memang tidak bijak jika kita menjadikan orang Asmat tetap sebagai cagar budaya hidup, membiarkan mereka dalam peradaban berburu dan meramu sehingga kita tetap bisa menikmati karya pahatan Asmat yang indah. Semoga para wow-ipits Asmat terus berperahu dan tidak tenggelam di tengah derasnya arus modernisasi itu.


See The All

Perkembangan zaman yang ada telah memudahkan pertukaran nilai dan pendangan terjadi diseluruh antero dunia, termasuk Indonesia pada umumnya dan Suku Asmat pada khususnya. Pertukukaran nilai inilah yang mengubah fungsi dan nilai dari kesenian pahatan yang dimiliki suku Asmat, dari benda ritual menjadi benda seni bernilai ekonomis.

Pergantian nilai ini dikarenakan adanya nilai baru yang masuk dari budaya luar, dalam hal ini adalah masuknya agama Kristen kedalam kehidupan suku Asmat. Kepercayaan akan roh-roh yang ada tergantikan kepada kepercayaan terhadap Tuhan, dan sudah barang tentu banyak nilai yang berubah dari hal tesebut.

Cara pandang mereka tentang kehidupan social pun berubah. Pada masa awal sebelum masuknya nilai budaya baru, kehidupan social mereka masihlah sangat menjunjung tinggi nilai kesukuan. Sebelumnya perang suku dianggap sebagai sesuatu yang wajar sebagi pembuktian sistensi dan kehormatan serta martabat dari suatu suku dilingkungan suku Asmat. Patung Mbis dijadikan sebagai salah satu sarana ritual penghantar kehadiran “nenek moyang ” mereka yang dipercaya akn melindungi anak keturunannya (Fumeripits). Saat ini budaya berbeda telah masuk, dan lambat laun nilai-nilai baru tersebut menggeser nilai tersebut dan menggantikannya dengan nilai baru, tentang perdamaian yang diidentikan dengan tidak adanya peperangan dan hal ini pun menggeser fungsi patung pahatan, dari sarana ritual menjadi sebuah pajangan.

Pendidikan yang kini lambat laun berkembang dan telah turut menjamah belantara Asmat turut mengambil bagian dalam perubahan paradikma tersebut. Hal ini merupakan pengaruh dari segi kogntif seseorang. Perubahan paradikma dan sudut pandang masyarakat, terutama pada generasi muda mulai berubah, hal-hal yang bersifat ritual kepercayaan terhadap roh nenek moyang kini tidak dapat dengan mudah diterima oleh mereka yang telah mengenyam pendidikan. Pola pikir mereka lebih cendrung logis, sehinga nilai-nilai local pun mulai ditinggalkan.

Oleh karena ini mengapa saat ini para generasi muda tidak banyak yang mengusai ketrampilan pembuatan patung Mbis ini. Perkembangan semakin terus melaju, nilai-niai budaya pun semakin berburu mencari tempat untuk mengukuhkan dirinya dan menggantikan nilai budaya lain yang lemah dalam artinya pengaruh globalnya. Oleh karena ini bagaimana mempertanhankan budaya itu adalah sampai kapan budaya tersebut masih memiliki kekuatan untuk bertahan ditengah lajunya pergesekan budaya tersebut.


Daftar Pustaka :

1. Row dan Eko Prihananto, Prasetyo . 2003. Antara Penghidupan dan Ritual Suku Asmat :

http://www2.kompas.com/ver1/Negeriku/0705/15/201303.htm

2. Srimulyaningsih ,Reni. 2004. Culture Sharing — Mengenal Suku Asmat. IYLP: http://kisipapua.blogspot.com/2007/12/patung-asmat-budaya-menghormati-leluhur.html

3. Andrian .2007. PATUNG ASMAT Budaya Menghormati Leluhur yang Mendunia

http://kisipapua.blogspot.com/2007/12/patung-asmat-budaya-menghormati-leluhur.html